observing lyfe : my pov on divorce

My point of view of my parent divorce :

Aku tidak tahu apa yang mendasari ibuku mau menikah dan kakekku mau menikahkannya. Sebenarnya pernikahan itu mudah saja : Sang perempuan mau dan ayahnya merestui. Kalo terjadi konflik, ya dibicarakanlah secara ma’ruf. Itulah, fungsi, hubungan kedekatan ayah dan anak perempuannya. Itulah, fungsi, wali nasab, karena perempuan punya last resort jika terjadi apa-apa di dalam pernikahannya. Sayangnya, fungsi wali dalam seleksi fit and proper test, tidak dijalankan kakekku dengan baik. Dan kakekku, bukan hanya satu2nya ayah di dunia ini yang “salah” menikahkan anak perempuannya : bahkan yang kuketahui, ada beberapa ayah, yang bahkan melakukan seleksi dengan baik dan pendidikan ayahnya tinggi (S2), namun, tetap saja, pernikahan anak perempuannya tidak berhasil. Bahkan sampai harus meminta bantuan profesional (psikolog dan psikiatris). But after all, that’s normal. That’s life. Menurutku, itulah bagian dari ujian hidup. Anda langsung dikasih soal tanpa pembekalan dan kisi-kisi terlebih dahulu. Mana ada orang yang mau dan siap dikasih ujian model begini, tapi ya, sekali lagi, ini sudah sebuah ketentuan dariNya.

observing lyfe : father hunger

Triggered by postingan rabbit hole. Ada tipe anak yatim, dimana ayah nya nggak meninggal, tapi tidak mendapatkan kasih sayang dan perhatian aka emotional bonding yang sufficient. Akibatnya bisa fatal, baik secara internal maupun manifestasi ke eksternal. Saya gak tahu kalo untuk anak laki-laki, tapi, untuk anak perempuan, father hunger ini bisa mengarahkan tindakan yang tidak tepat dan pada orang yang salah. Misalnya, menjadi bucin dan terjebak di toxic relationship atau sebaliknya, membangun tembok yang tinggi terhadap laki-laki.

Lalu, bagaimana solusinya? I dont know too. Tapi, kalo dilihat dari kisah Rasulullah, beliau di co-parent sama kakek dan pamannya. Balik lagi ke konsep : It takes a village to raise a child. Rasulullah di co-parent pamannya sampai bisa mandiri dan jadi pedagang yang terkenal sebagai al-amin, sampai akhirnya bertemu Khadijah RA. Khadijah RA, yang sudah matang secara emotionally, menjadi support system Rasulullah dalam masa-masa berat kenabiannya.

Untuk fenomena “father hunger” ini, IMHO, co-parenting adalah salah satu solusinya. Kalo gak punya keluarga yang peduli gimana? Idealnya, Dinas Sosial melalui GNOTA (Gerakan Nasional Orang Tua Asuh) yang bisa mengambil peran disini. Sepertinya.

observing your life : apa level dewasamu

Naik level di kedewasaan.

Pas 18 (lulus SMA) kalo ibarat kurva eksponensial, masalah hidup mulai naik ke level berikutnya. Kalo saya pribadi, beuhh, eksponensial banget. Bayangin aja, saya yang hampir gak pernah tinggal jauh dari keluarga (paling banter 3 hari ke luar kota buat ikut lomba), tiba2 terdampar di Jawa. Untuk pertama kalinya hidup mandiri di asrama dan menjalani level baru sebagai mahasiswa. Di level baru ini, kesulitan-kesulitan nya adalah culture shock dan sistem belajar yang benar-benar berbeda dari SMA. Saya rasa butuh 2 tahun buat bisa beradaptasi dengan kehidupan baru ini. Ckck. Hey, but I have survived engineering anyway.

BANG TOYIB

Hai hai apa kabar kamu? Gimana eid nya, sudah makan opor dll? Sudah ditanya “Kapan….?” belom? Wkwk

Aku gak pulkam lagi tahun ini dan yeayy aku mendapat tropi Bang Toyib. Hehe. Terus terang, keputusanku ini gak ngikutin pemerintah yang sudah ngebolehin orang-orang mudik. Karena, selama pandemi, aku mengambil keputusan berdasarkan scientific reasoning, keadaan real di lapangan (udah gak ada physical distancing + kesadaran prokes sudah hampir jatuh ke titik nadir + risk assesment), taraaa.. jadilah keputusan untuk gak pulkam diambil. Bismillah, semoga berkah. Sementara keadaan ini disyukuri dulu karena bisanya masih begini. Alhamdulillah ála kulli haal.

Gara-gara kegabutan ini, aku malah mikir.

Sebenarnya, idul fitri itu esensi nya apa sih?

As you know. Mudik, segala macam makanan khas lebaran, silaturahmi, itu cuma tradisi, bukan esensi, which is, ya boleh-boleh aja, tapi gak harus.

Jadi, in my humble opinion…

Eid : Celebration for successfully accomplish the efforts*

Efforts : Obeying Allah’s command (fasting, not doing any bad things etc)

The command itself (fasting) is better for you if only you knew and it’s not a burden for you. (Q.S. Al-Baqarah : 183-185). The happiness of celebrating eid comes from your accomplishment to fulfill the command.

So, meskipun tidak menjalankan tradisi, tapi mendapatkan esensi, I think that’s the way of celebration.

Selamat lebaran dan liburan…