CERPEN : si sulung

Si sulung kami, sekarang kelas 3 SMA, tak terasa waktu sudah menghantarkan dia ke check point hidupnya selanjutnya : melepas masa sekolah dan mulai memilih universitas. Dalam perkembangan rapornya dari kelas 1 SMA, kami bisa melihat dia sangat tertarik di mata pelajaran eksak dan nilainya juga lumayan bagus disitu. Kami mengajaknya untuk mereview banyak jurusan yang didapatnya dari konselor di sekolahnya, sesuai dengan minat dan kompetensinya. Pertanyaan “what do you want to do in life” agaknya masih berat waktu itu, untuk ditanyakan pada anak usia 16 tahun ketika ia ada di kelas 1 SMA, yang masih sangat semangat untuk mengikuti berbagai macam ekstrakurikuler, mencoba hal-hal menyenangkan di masa remaja untuk menemukan pertanyaan “what do you want to do in life” tadi. Kami memang memutuskan untuk membiarkannya menikmati masa-masa remaja yang nggak akan terulang lagi, tentu dengan berbagai aturan yg telah kita sepakati, seperti tidak boleh pulang ke rumah lebih dari jam 9 malam.

Seperti malam itu, setelah makan malam dan membereskan meja, dia berkata bahwa ia sudah memutuskan 5 kampus yang menarik minatnya. Saat itu, Dane belum pulang dari kantornya, dan aku membelai rambut putri kami yg gak sekecil itu lagi.. “Well Dane, can we discuss it tomorrow? Your dad should be home tomorrow and I will discuss this with him tonight”

Jam 10, Grey baru sampai rumah dan aku membukakan pintu untuknya. Dia mencium pipi kiriku saat aku berkata “Welcome home”. Ya, begitulah kebiasaannya sejak dulu, ketika aku menyambutnya pulang dan aku sedang tidak sibuk di meja kerjaku memeriksa ujian mahasiswaku atau proposal riset mereka.

Dia duduk di sofa, dan bertanya :

“How was your day?”

“Hm, interesting day happened today.” kataku sambil membawa segelas air putih.

“Oh thanks…”

“Dane sudah sangat dewasa… kurasa aku semakin hari semakin tidak mengenalnya?”

“Hmm?”

“Dia sudah menentukan sendiri lima kampus yang dia tuju…” kataku sambil memperlihatkan kertas yg tadi diserahkan Dane.

“Kurasa besok kau harus meluangkan waktu untuk putrimu. Karena dia butuh diskusi of course. Aku sudah bilang kepadanya kalo kau ada waktu besok.”

“Oh, alright, besok hmm.. kuusahakan sampai di rumah lebih cepat.”

“Thanks”

Inilah alasan aku memilih Grey sebagai partner. He respects me as woman. Dia tidak pernah memaksakan pendapatnya dan tidak pernah kutemui dia menghardik pendapat yg berbeda dengannya. Dia selalu menawarkan win-win solution. Ketika memutuskan hamil Dane, dia juga menanyakan padaku apakah aku siap untuk menjadi seorang ibu, karena dia memahami itu tidak mudah. Saat itu, aku bilang belum siap, karena kami menikah di tahun terakhir masterku. Dia memahaminya dan bilang, oke mari kita persiapkan dirimu. Aku terus terang pernah bilang kepadanya, bahwa aku mungkin tidak menginginkan anak di awal-awal tahun pernikahan kami, dan dia setuju.

Grief and attachment

Pandemic teaches us about Grief. It is not simple. Does a pandemic make you re-think what is life for?

I lost two people on Delta’s wave. When someone dear to you pass away, there’s no such thing as moving on. I hate the concept of “emotional bonding” with someone we love because it really hurts when we lose them. And that’s life: everyone will die. Then I learned this concept: attachment. Why does it hurt when someone close to you passes away? Because you attach yourself to that person. You think that he/she is yours and will always be there for you.

So, is it wrong to have this kind of attachment anyway?