Januari

Membekukan seluruh perasaan

Mengkristalkan semua kenangan

Hari ini, semua cerita harus usai.

(Tere Liye)

3 Januari 2013

Ceritanya lagi move on, hihi 😀

Baru kali ini, rasanya ingin mempersiapkan hati untuk perpisahan dengan kota ini (melankolis mode). Kota ini mungkin terlalu banyak menggoreskan kenangan. Saat keputusantelah diambil, saat itu pula kaki harus melangkah menuju takdir lain. Kisah kita, berakhir di Januari…

Perpisahan itu dimulai dengan Habibie-Ainun movie yang katanya bikin terharu sampai menangis. Tapi entah kenapa ya, tidak ada satupun airmata yg tumpah hehe 😀

Lalu berkunjung ke Depok Timur, menjenguk Dek Mufliha Taqiyya. Sang wanita beruntung nan bertakwa, doa kedua orangtuanya. Pamit ke umminya, sang guru ngaji. Beliau membawa pelita, membina, meskipun binaannya seperti ini haha…

Pamitan pada kosan, pada jalanan berdebu yg dilewati selama 4 tahun dan pada seorang sahabat sekaligus tetangga sebelah kamar yg sudah bersama menjalani 4 tahun ini : asrama, kampus, bahkan merantau ke Dumai.

Lalu tentangnya. Hai, apa kabarmu? Tentu, kau akan selalu dibersamai para pejuang di jalanmu yang mengharapkan cintaNya, surgaNya. Jadi ingat masa lalu. Masa pertemuan kita.

Diawali dari lingkaran cahay itu, tahun kedua. Saat hati belum terpaut di lingkaran itu, cahayanya belum merasuk di jiwaku. Masih berada di zona itu : peralihan jahiliyyah-cahaya 😀

Setengah tahun setelah itu, mulailah mengemban amanah itu. Ketika sesuatu yang belum kuat pondasinya, tentulah masih goyah pendiriannya. Terseok-seok, bangkit, bangun lagi. Apa yg sedang kulakukan ini? Benarkah jalan yang kutempuh ini? Untunglah Allah mengirimkan saudara-saudara yg senantiasa menguatkan : canda mereka, serius mereka, suasana rapat di sekre lantai dua itu… Rindu, rindu sekali.

Tirai cahaya itu mulai tersibak. Rupanya, inilah yang kucari. Menemukan bintang paling terang itu, disana, mereka, orang-orang di jalan cahaya itu, membawa suluh yang berkobar dengan cahaya yang tak pernah padam.

Ketika memasuki lingkungan baru, penyesuaian diri memanglah perlu. Sayangnya, itu butuh waktu lama, dan penyambutan tak jua tiba dan membuatku kembali tersudut : Apa yang kucari disini?

Mereka, seperti orang-orang asing bagiku. Aku sudah hendak melangkahkan kaki, tapi, kaki ini sungguh terasa berat untuk beranjak. Ya Rabbi, cukuplah sekali itu aku membuat keputusan yg aku sendiri tak tahu kemana arahnya. Apa yang kuputuskan? Belum kutemukan alasan tepatnya, ia sudah beregenerasi. Berganti, tunas-tunas baru telah terbentuk. Ruh-ruh baru siap mengganti.

Lalu, terasa benar rasa-rasa perpisahn itu. Siapa bilang kita berpisah? Kau selalu ada di denyut jantung dan hembusan nafas. Hanya saja, medannya yang berbeda.

Kita bisa dan hanya bisa menjadi kenangan

Yang terkumpul lalu terserak

Yang nyata tapi tak pernah ada

Nyatanya, rasa itu meluka

Lebih baik begini pedihkah?

Menyimpan, mengenang, lau melupakan

Dan ketika harus memilih..

Untuk melepaskan

Takdir yang tak membersamai