Aku pernah bertanya, kenapa perempuan tidak dianugerahkan kemampuan bernalar yang sama seperti laki-laki? Kenapa perempuan didominasi oleh perasaan? Maka, kudapat jawabannya hari ini. Dari cerita ini.
Tersebutlah kisah, seorang laki-laki, yang berprofesi sebagai seorang pelaut. Kaya raya dan tinggal di ibukota, beristri seorang perempuan sunda. Namun, ia harus dijebloskan ke penjara, karena terbukti menyelundupkan barang. Dihukumlah ia dan harta kekayaannya binasa. Ketika bebas, ia tidak punya apa-apa, akhirnya pulang kampung, kembali kepada perempuannya dg sekian banyak anak-anaknya. Perempuan pertama yg dinikahinya. Seorang perempuan miskin yg berjuang mempertahankan hidup dengan bertani, berjualan dan belas kasihan sanak saudara. Bagaimana mungkin sang perempuan bisa sekuat itu? Bagaimana mungkin ia bisa bertahan?
Ia adalah perempuan perkasa. Perempuan, yang katanya, didominasi oleh perasaan, namun tekadnya kuat membaja. Tekad untuk tidak cengeng dan lemah dalam kemandirian ekonomi karena nafkah suami (yang nampaknya) tidak (berusaha maksimal untuk) mencukupi. Ah, pada titik ini, aku jadi heran pada makhluk yg Allah lebihkan fisik dan nalar itu hingga ia Allah beri gelar “qawwam”.
Dan, begitulah perempuan, dominasi perasaan (mungkin) membuatnya lebih kuat dari (sebagian) laki-laki yang Allah anugerahkan kelebihan akal dan fisik, tapi tidak diberdayagunakan semaksimal mungkin.
Maka, bersyukurlah menjadi perempuan.