Tentang Perempuan

Aku pernah bertanya, kenapa perempuan tidak dianugerahkan kemampuan bernalar yang sama seperti laki-laki? Kenapa perempuan didominasi oleh perasaan? Maka, kudapat jawabannya hari ini. Dari cerita ini.

Tersebutlah kisah, seorang laki-laki, yang berprofesi sebagai seorang pelaut. Kaya raya dan tinggal di ibukota, beristri seorang perempuan sunda. Namun, ia harus dijebloskan ke penjara, karena terbukti menyelundupkan barang. Dihukumlah ia dan harta kekayaannya binasa. Ketika bebas, ia tidak punya apa-apa, akhirnya pulang kampung, kembali kepada perempuannya dg sekian banyak anak-anaknya. Perempuan pertama yg dinikahinya. Seorang perempuan miskin yg berjuang mempertahankan hidup dengan bertani, berjualan dan belas kasihan sanak saudara. Bagaimana mungkin sang perempuan bisa sekuat itu? Bagaimana mungkin ia bisa bertahan?

Ia adalah perempuan perkasa. Perempuan, yang katanya, didominasi oleh perasaan, namun tekadnya kuat membaja. Tekad untuk tidak cengeng dan lemah dalam kemandirian ekonomi karena nafkah suami (yang nampaknya) tidak (berusaha maksimal untuk) mencukupi. Ah, pada titik ini, aku jadi heran pada makhluk yg Allah lebihkan fisik dan nalar itu hingga ia Allah beri gelar “qawwam”.

Dan, begitulah perempuan, dominasi perasaan (mungkin) membuatnya lebih kuat dari (sebagian) laki-laki yang Allah anugerahkan kelebihan akal dan fisik, tapi tidak diberdayagunakan semaksimal mungkin.

Maka, bersyukurlah menjadi perempuan.

Ebot (Part 1)

Barangkali terserak di pelataran nalar kita tentang apa pentingnya interaksi bagi kehidupan. Sesungguhnya interaksi tersebut adalah bagian besar dari kehidupan.

Seorang insan hanya akan berakhir pada dirinya sendiri jika hidup secara soliter. Dan besar kemungkinan ia tidak bertahan lama di kehidupan ini.

Seandainya pun ia bertahan demikianlama, maka ketika kita seret kepada ladang jiwa, mungkin tidak sekaya insan lainnya yang ramai-ramai berinteraksi di luar sana. Bagi kawan-kawan yang hendak memperkaya jiwa, memperluas interaksi bolehlah menjadi salah satu cara. (Chifrul Hamasah, Sang Pemetik Cahaya)

 ***

Sebutlah si Ebot,-bukan nama sebenarnya-, seorang introvert tulen. Pemalu, pendiam, pasif dan cenderung tidak kelihatan di pergaulan sosial dan membatasi diri. Si Ebot ini juga ngga tahu kenapa dia bisa seperti itu.

Lalu seketika muncullah badai otak dan otaknya si Ebot dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yg membuatnya mengajak diskusi diri sendiri, menganalisis dan menemukan jawabannya. Namun Si Ebot tidak puas, karena jawaban-jawaban itu sangat subjektif dan bisa saja si Ebot sampai pada penarikan kesimpulan yang salah bahkan kesesatan berfikir.

Diskusi-diskusi yg selama ini si Ebot lakukan, cenderung satu arah, via internet. Dan jawaban2 itu tentu saja kadang tidak memuaskan si Ebot.

Karena itulah, si Ebot merasa perlu untuk masuk ke sebuah komunitas, apapun itu, asal tujuannya baik. Ebot berfikir, ia perlu lebih memperluas pergaulan, meninggalkan zona nyaman dan meningkatkan kepercayaan diri. Melihat sisi orang lain, membuka diri, dan menemukan jawaban-jawaban atas pertanyaannya.

Lalu, si Ebot bertekad untuk menjadi volunteer. Kata si Ebot kepada saya, ia ingin berkumpul dengan orang-orang baik, melihat dunia dengan perspektif berbeda dan memberi sedikit kekuatan yang dia punya.

… Kemarin saya menanyakan lagi motivasi Ebot untuk mengikuti sebuah acara per-volunteeran. Saya tanyakan dalam-dalam, hingga saya dapati si Ebot masih ragu untuk mengikutinya. Hingga hujan yang mengguyur Jakarta mungkin merupakan jawaban. Hmm… Logikakan saja kegiatan ini sebagai sebuah riset, katanya. –to be continued-

Amal Ibadah Saat Haid

heningbanget

Video ini bagus banget lho kawan2! Menjelaskan tentang amal ibadah apa sih yang bisa dilakukan Muslimah kalau lagi haid. Ilustrasinya juga cakep banget, jadi gak bosen nyimaknya. Sebelum video ini, ada video pertama yang menjelaskan tentang kedudukan wanita haid dalam Islam dan di luar Islam.

Pertama tentang amal ibadah apa yang bisa dilakukan. Jawabannya, yang paling utama adalah dzikir. Ternyata dzikir itu banyak pahalanya, padahal kayak yang remeh gitu ya, cuma ngomong aja. Tapi yang namanya dzikir mah harusnya pake hati juga ya 🙂 Dzikir bisa dilakukan di banyak waktu: pagi, sore, sebelum tidur, bangun tidur, sebelum makan, sesudah makan, dst. Selain itu, banyak amal lainnya, seperti belajar, baca buku, do’a, shalawat, dll.

Pertanyaan selanjutnya, bolehkah membaca Qur’an saat haid? Secara singkat dalam video ini dijelaskan, para ulama tidak ada perbedaan pandangan kalau membacanya itu dalam hati. Tapi kalau membaca dengan lisan (reciting), itu ada 2 pandangan: satu membolehkan…

View original post 253 more words

Rasa VS Logika : Irrasional?

Saya menyebutnya, irrasional, semacam pendapat pribadi terhadap beberapa ojeg yang dengan anggun dan polosnya nyempil di jalanan padat ataupun mobil yg seenaknya menyerempet orang.

Akhir-akhir ini saya berfikir “susah”nya menjadi seorang perempuan adalah dominasi perasaan di atas logika. Perempuan memikirkan sesuatu secara berlarut-larut, plus pake perasaan pula. Akhirnya, mucullah praduga-praduga atau ekspektasi-ekspektasi, yang kalo ditelusuri secara logika, bisa jadi tidak ada hubungannya atau tertolak validitasnya.

Bukan berarti saya tidak bersyukur terlahir sebagai wanita tulen (?). Saya menghabiskan kurang lebih 1/6 bagian umur saya di Fakultas Perlogikaan dan ditempa untuk terbiasa berfikir logis-matematis meski kemampuan tsb tidak berkembang secara strategis di diri saya (apaan sih, Mi?) .

Sebelumnya, saya pernah mengalami suatu keadaaan dimana saya menghubungkan fakta-fakta yang ada hingga terciptalah suatu hubungan yang merupakan imajinasi yang saya pendam hingga waktulah yang berhasil meng-Knock Out saya menjadi butiran debu (?) dan mematahkan sepatah-patahnya (?) apa yang Peter Pan sebut khayalan tingkat tinggi :P.

Lalu, apa? Kenapa? Bagaimana? Akhir2 ini saya mengalami semacam badai otak(?) aka brainstrom, diskusi dg diri sendiri, bagaimana supaya rasa-logika ini seimbang, tapi, saya belum menemukan titik terangnya. Ah, semoga suatu hari nati kan ada jawabnya.

Dekonstruksi Standar?

Novel Ari Nur Utami, berjudul Sketsa. Bukan sekedar novel biasa. Ia memberi saya banyak perenungan. Salah satunya : Konsep dekonstruktif.

“Saya suka dekonstruksi.”

“Roland Bartess? Jacques Derrida?”

“Iya, Peter Eisenmen. Zaha Hadid.”

Mereka akan mendekonstruksi semua standar yang dipakai banyak orang. Bahwa hidup, adalah benar-benar seru dan mengasyikkan…

Hampir semua standar orang tentang bahagia adalah : punya pekerjaan yg oke, gaji di atas rata-rata, rumah yang bagus, kendaraan yg kece, pasangan yg menawan, dsb.

Tidak ada yg salah dg itu semua. Muslim yang kaya oke banget malah. Bisa sedekah. Mempekerjakan orang-orang. Membantu yg tidak mampu. Kendaraan? Mempercepat mobilisasi. Pasangan menawan? Menyejukkan mata.

Namun, ada kalanya standar tersebut disandarkan pada standar manusia : Ingin pamer, dihargai dan dihormati, berfoya-foya dan standar duniawi lainnya. Dan orang-orang yg belum berhasil mencapai standar tersebut dicap sebagai orang yg hidupnya belum selengkapnya bahagia.

Padahal standar duniawi semacam itu akan rapuh. Jika semua standar bahagia itu dicabut. Diambil oleh yg empunya. Karena rasa memiliki, padahal sejatinya hanya dititipi.

Lalu, dimana letak dekonstruksi standar? Tidaklah mudah untuk mendekonstruksi sebuah mindset bahwa standar bahagia itu adalah bahagia itu sendiri.

Setiap saat, seseorang berhak bahagia, apapun kondisinya. Kebahagiaan bukan sesuatu yg harus diraih, melainkan hadir setiap saat. (Ari Nur Utami)