Liku Jalan Taqwa

Pagi ramadhan yang indah. Aku mematut muka di cermin. Merapikan ujung-ujung jilbab, mengaturnya agar menjadi simetris. Tak terasa, sudah satu tahun aku mengenakan identitas muslim ini. Ramadhan tahun lalu aku mulai menetapkan hati untuk memakainya. Tepatnya, 1 Ramadhan tahun lalu.

Banyak hal-hal positif dan negatif yang menderuku sejak memutuskan berhijab. Dengan berhijab, aku tak lagi terganggu dengan suit-suitan para pemuda tanggung yang biasanya nongkrong di tepi jalan dekat rumah. Dengan berhijab, aku tak lagi merasa segan saat diadakan mentoring agama di sekolah. Bahkan, aku menjadi salah satu anggota OSIS bidang keagamaan di sekolah. OSIS di sekolahku sangat selektif, sehingga orang-orang tertentu saja yang bisa masuk.

Sedangkan dampak negatif-atau kusebut itu ujian- datang dari keluargaku, terutama mama dan kakakku, Galih. Sejak memutuskan mengenakannya, keluargaku mengira aku hanya memanfaatkan momen ramadhan. Maka, tak ada protes dari mereka ketika aku mulai meninggalkan baju-baju pendekku. Mama juga tak menolak untuk membelikan jilbab. Namun, sejak mengenakannya secara full walaupun ramadhan telah berakhir, maka muncullah reaksi-reaksi negatif itu. Mama bertanya apa aku sudah masuk aliran-aliran tertentu, yang dianalogikan dengan aliran sesat, ataupun jaringan teroris. Apalagi, aku memakai jilbab yang cukup lebar, ya setidaknya, menutupi dada seperti yang disyari’atkan Al-Quran. Bukan jilbab ketat yang hanya menutupi leher dan membentuk kepala yang sekarang makin ngetren. Sementara Kak Galih, mengamatiku ketika sedang berada di kamar. Terutama rambutku. Mungkin di dalam fikirannya, aku sudah menjadi botak, atau rambutku sudah sedemikian parahnya. Lalu ia berkata padaku saat makan malam : ”Apa perlunya sih lo menutupi rambut lo? Kayak wanita-wanita Arab. Kita kan tinggal di Indonesia. Gue gak bisa bayangkan, lo pasti ketombean, bahkan mungkin kutuan.”

HP ku berbunyi. Mengembalikanku pada dunia nyata. Aisyah calling. Aku mengangkatnya. ”Assalamu’alaikum.” kata suara di seberang sana. ”Wa’alaikumussalam.” Ku jawab salamnya. ”Lana? Udah dapat SMS kan kalo hari ini ada tahsin di Masjid Darussalam?” ”Iya, ini lagi siap-siap” “Oh, ya udah, ntar ketemu disana ya. Assalamu’alaikum.” ”Wa’alaikumus salam.” Aku segera merapikan jilbabku. Blus putih dan rok warna hijau muda, senada dengan jilbab krim di kepalaku. Aku bergegas memasukkan mukena dan Al-Qur’an mini ke dalam tas. Aku menuruni tangga. Dan kulihat Kak Galih baru keluar dari kamarnya. Kebetulan, kamarku dan kamarnya bersebelahan di lantai dua ini. ”Wah, sang jilbaber, mau ke mana ni?” ”Ke masjid.” ”Ngapain?” ”Tahsin.” ”Apa? Asin?” ”Tahsin, belajar membaca Al-Qur’an.” “Untuk apa?” Pertanyaan retorik. Tak perlu jawaban. “Mau ikut?” Ia hanya tersenyum mengejek. ”Gile lo ye.” ”Kak, ini ramadhan. Coba jangan keluarkan kata-kata kayak gitu.” ”Peduli amat. Cepetan pergi sana.” Ia melambai-lambaikan tangan ke depan, seperti mengusir anak ayam. ”Assalamu’alaikum Kak”

***

Perjalanan ke masjid Darussalam memakan waktu 20 menit dengan sepeda motor. Saat memarkir motor, ku lihat Aisya juga baru datang dengan mengendarai sepeda birunya. Aisya sangat sederhana, ia bahkan menolak ketika ingin ku jemput pakai motor. Ia mengatakan, rumahnya cukup dekat, hitung-hitung mengurangi polusi katanya. Ketika melihatku, ia melambaikan tangannya. Ia berjalan cepat ke arahku. ”Jam berapa dimulai tahsinnya?” ”Jam 9.30” Aku melihat arloji di tangan kananku. Masih sepuluh menit lagi. ”Ke dalam yuk. Dhuha.” Kami melangkah ke halaman dalam masjid. Mengambil wudhu, lalu naik ke lantai dua masjid tersebut. Sholat dhuha pertama. Yang aku tahu, paling dua rakaat, dan niatnya kuucap dalam bahasa Indonesia. Sesaat setelah sholat, Aku dan Aisya mengambil tempat duduk di selasar. Ia tampak mengambil sesuatu di tasnya. ”Ini.” ”Apa?” ”Untukmu” Sebuah kado kecil dengan bungkusan warna hijau. ”Mm… Aku kan nggak ulang tahun Ai.” Ia tersenyum kecil. ”Bukan, happy anniversary for… Your hijab. Udah satu tahun kan?” Aku bingung dan terkejut. Rupanya masih ada orang yang seperti Aisyah yang mengingatnya. ”Dibuka dong” Ku buka bungkusan itu perlahan-lahan. Ada sebuah jilbab warna putih dengan bordiran bunga pink dan sebuah buku. ”Keep istiqomah ya Ukhti.” ”Amiin, insyaAllah.” Aku terharu dan memeluk Aisyah.

***

Di tengah tahsin, handphone ku bergetar. Ingin ku reject, tap melihat tulisan Mama yang menelpon, aku mengangkatnya setelah terlebih dahulu permisi. ”Assalamu’alaikum Ma?” ”Wa’alaikumsalam. Kamu di mana Lan?” ”Di masjid.” “Hah? Ngapain?” Ada nada keterkejutan di sana. ”Mm… Belajar ngaji Ma.” ”Oh… Lan, mama minta kamu jemput Bude di Bandara.” ”Bude yang di Surabaya?” ”Iya, katanya dia mau sampai lebaran di rumah kita.” ”Kapan Ma?” ”Sekarang.” ”Sekarang?” ”Iya, pesawatnya tiba jam 12an gitu katanya. Mama lagi sibuk. Papamu juga.” ”Tapi…” ”Ya ndak ada tapi-tapi. Ntar kalo dia kesasar gimana. Udah ya Lan.” *** Pukul 10.30. Aku berada di taksi yang akan membawaku ke Bandara. Motorku ku tinggal di masjid, dan menitipkannya pada Aisyah. Dalam hatiku agak sedikit kesal juga, padahal aku sedang tahsin. Apa Kak Galih tak ada di rumah?

Jalanan hari ini agak sedikit macet. Dalam taksi aku membaca beberapa surah yang diajarkan tadi. Daripada bete sendiri. Akhirnya, aku tiba di Bandara sekitar jam 11.45. Setelah mengkode supir agar menungguku, aku segera mencari tanteku. Kami sudah pernah bertemu kira-kira satu tahun yang lalu. Ya Allah, mudah-mudahan aku bisa menemukannya. Aku melihat ke setiap orang yang keluar dari Bandara. Tiba-tiba kulihat seorang wanita yang mirip tanteku. Tapi, dia kurus, tidak seperti tanteku yang gemuk. Tapi, tahi lalat di dagunya mirip sekali. Di belakangnya ada seorang laki-laki dan dua orang anak. Feelingku mengatakan dia tante Ratna.

”Bude…” kataku sambil berjalan menghampirinya. Orangi itu terheran-heran melihatku. Ia merenung mukaku.

”Lana? Ini Lana tho?”

”Iya Budhe.”

“Wah, budhe pangling lho melihat kamu. Pak, ini Lana nya udah jemput.”

”Ayo Budhe, itu taksinya udah nunggu.” Di dalam taksi, aku berbincang banyak soal keluarga.

”Budhe pangling lho. Kamu udah pake jilbab tho?”

”Iya Budhe, sejak satu tahun yang lalu. Aku juga pangling lho sama Budhe. Udah lebih kurusan.” Aku hati-hati mengucapkan kalimat terakhir.

”Iya, Budhe ikut program diet.”

”Oh…”

”Lan, kok kamu kelihatan lebih tua ya?”

”Masa sih Budhe?” ”Iya, mungkin karena kerudungmu. Koq lebar gitu Lan. Kan ada tho kerudung yang khas anak muda. Yang kayak itu lho.” katanya sambil menyebutkan nama seorang artis. Aku hanya tersenyum sambil memerhatikan kedua keponakanku. ***

Buka puasa kali ini terasa istimewa. Lengkap. Ada papa, mama, Kak Galih, juga keluarga Budhe. Sejak sore, Budhe masak makanan untuk berbuka. Ada kolak pisang, Ayam Opor, dan capcay. Aku masih ada di kamarku ketika mama menyuruhku dan Kak Galih turun. Aku mengambil jilbab kaos hitam di lemari, lalu segera turun ke bawah.

”Saras, tadi ku sampai pangling lho ngeliat si Lana. Rupanya dia sudah pake jilbab tho?” ”Iya, mbak Yu.” Kak Galih dari tadi kelihatan tidak bersemangat duduk di majelis ini. Ia bete, dan berkali-kali melihat Budhe. Entah apa yang difikirkannya.

”Lana ndak sekolah tho hari ini?”

”Awal ramadhon memang libur Bule.”

”KaloGalih?”

”Masih liburan kuliah, budhe. Budhe kurusan ya? Rambutnya juga lurus banget.” ”Iya, ini Budhe diet Galih. Trus ikut rebonding bareng teman-teman arisan.”

Aku hendak tertawa mendengar kata-kata terakhir Budhe. Sementara Papa dan Pak De Zainal sibuk entah membicarakan apa.

”Siapa yang nyuruh Lana pake jilbab? Kamu ya Saras?”

”Lha, dia mau sendiri tho Mbak. Saya aja gak pake.”

“Trus di rumah juga dipake?” Terus terang, aku juga ingin lepas kerudung. Soalnya hari ini panas banget. Tapi, ada suami Budhe yang otomatis bukan muhrimku.

”Iya nih Lana. Kamu jangan ikut ajaran sesat ya.”

Tiba-tiba tangan mama meraih kepalaku, dan melepas jilbabku dengan paksa. Astaghfirullah… Semua melihat ke arahku. Dan, waktu seakan membeku. Dengan lemah, aku mengambil jilbab yang terjatuh di bawah meja. Ku pakai dan berlari masuk ke kamar. Di kamar, Aku menangis di hadapanNya. Kuatkan Aku ya Allah… ***

Seusai tarawih. Aku memutuskan untuk mampir ke rumah Aisyah. Ku ceritakan apa yang terjadi dengan menangis tersedu-sedu. Ia membiarkanku menangis sampai tangisanku berhenti.

”Sudah lega?” Ia tersenyum. Teduh sekali.

”Lan, seorang mukmin pasti akan diuji imannya. Semakin tinggi tingkat keimanannya, semakin berat ujiannya. Apakah ia benar-benar termasuk orang bertaqwa atau hanya setengah hati. Memang jalan untuk menuju taqwa itu tidak mulus. Pasti ada saja lubang di sana-sini.”

”Tapi, mama Ai. Mama tega.”

”Mungkin beliau sedang khilaf Lan. Belum faham. Inilah tugas kita untuk menyampaikan islam kepada beliau.”

“Mama pasti tak akan mau mengerti.”

“Siapa bilang? Allah maha pembolak-balik hati. Siapa tahu, melalui kamulah Allah menitipkan hidayahNya pada mamamu. Ingat Lan, berbuat baik pada orang tua juga termasuk taqwa lho.”

”Tapi kita harus selalu mengutamakan Allah khan Ai?”

”Betul, tapi itu tak berarti kita harus mengesampingkan mereka. Pergaulilah mereka dengan baik. Mungkin, komunikasi kita dengan orang tua selama ini kurang bagus, yang disebabkan akhlak kita yang belum tertata.” Lana terdiam. Benar, mungkin selama ini, ia kurang peduli dengan mamanya. Perintah mamanya sering disepelekannya dan dianggap angin lalu. Ia merasa, ia telah melaksanakan kewajiban terhadap Allah, tetapi kewajiban terhadap orang tua dilewatkannya. Astaghfirullah…

”Lalu, aku harus bagaimana Ai?” ”Pulanglah, tunjukkan akhlak yang bagus pada mereka. Buktikan bahwa dengan berhijab kamu bisa menjadi anak yang membanggakan. Lalu, ajaklah mereka bicara, jelaskan kepada mereka. Tapi, jangan menggurui lho Lan. Ingat, orang tua biasanya gak suka digurui.”

Lana menangis. Terharu. Ia berjanji dalam hati kecilnya. Mulai saat ini akan mengubah perilakunya. Ia ingin benar-benar mendapat predikat taqwa, yaitu tidak hanya menjalankan kewajiban terhadap Allah, tetapi juga memenuhi kewajibannya terhadap orang lain, terutama ibu bapaknya. Perjalanan menuju takwa memang berat. Dan ia baru memulainya. Ya Allah, kuatkan aku, do’anya dalam hati. Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa itu berada dalam taman-taman (syurga) dan mata air-mata air, sambil menerima segala pemberian Rabb mereka (Ad-Dzariyaat :15)